Belajar Daring Saat Pandemi: Guru tidak ada kerjaan! Apakah Benar Demikian?

Boleh dibaca sampai selesai ..., jika berkenan 😊 

Bersliweran tulisan orang tua yang keberatan akan proses pembelajaran jarak jauh. Ada yang bersedia membayar dua kali lipat agar anaknya masuk sekolah lagi. Saya bergumam, "Wow, apakah bisa kesehatan anak diganti dengan uang?"

Ada juga komentar negatif lainnya, "Gurunya keenakan, tidak ada kerjaan!"

Dan saya tergelitik untuk menuliskan pendapat saya sebagai seorang ibu yang harus mendidik putra dan putri saya secara daring, juga sebagai seorang anak yang orang tuanya berprofesi sebagai guru dan dosen.

Saya awali dengan pertanyaan untuk diri sendiri dan para orang tua, "Sadarkah para orang tua sekalian, bahwa kita sedang membayar 'utang waktu' kita untuk mendidik anak-anak kita? Berapa waktu yang lebih banyak kita habiskan untuk urusan pekerjaan, rumah, dan bahkan sekedar kongkow bersama teman-teman?"

Pertanyaan selanjutnya adalah, "Sulit kan ternyata mendidik anak-anak? Tapi menuduh guru ga ada kerjaan? Oh no, jangan seperti itu."

Kemudian, "Tahukah para orang tua, kesulitnya pendidikan secara daring bukan hanya pada orang tua tetapi juga dialami pengajar sebagai pemberi materi?"

Pasti tidak pernah terbayangkan bagaimana sulitnya menjadi seorang pengajar/pendidik, ya?

Saya pribadi, yes, saya mengalami kesulitan dalam memandu atau membimbing anak-anak dalam pembelajaran daring. Terutama untuk putra saya yang usia SD. Saya banyak bertengkar, naik pitam, kesal, marah-marah dan sejenisnya yang membuat kepala bertanduk dan taring keluar.

Namun, saya melihat kedua orang tua saya yang sudah menjadi pengajar SMK dan Dosen selama 40 tahun. Saya melihat beliau berdua di usia 65 tahun diharusnya membuat materi belajar dengan slide (PPT), menggunakan aplikasi zoom, google meet, google class room sampai edmondo, bahkan membimbing  tugas akhir secara daring.

Ayah saya, tidak suka menggunakan gawai (HP), apa yang terjadi saat beliau dipaksa Direktur Akademi untuk menggunakan smart phone? Untuk membaca atau membalas pesan WhatsApp saja beliau selalu meminta bantuan saya atau anak saya yang SMA. Beliau mengeluh pusing, kemudian karena hal tersebut menyebabkan masalah kesehatan bagi beliau, tekanan darah (tensi) naik. Belum lagi beliau harus mengoreksi tugas-tugas  dan tulisan siswa secara daring, satu per satu dan itu banyak lho Bapak, Ibu. 

Untuk mata pelajaran Parasitologi saja, Ibu saya harus mengajar kelas 10, 11 dan 12 dan untuk video materi yang diberikan, para guru diwajibkan untuk membuat rekamannya di sekolah. Jadi tidak semudah itu juga bagi para pengajar untuk menyelenggarakan pengajaran online.

Kenapa sudah setua itu masih mau ngajar? Itu merupakan dedikasi seorang pengajar untuk terus memberikan/membagikan ilmu pengetahuan yang dimiliki secara terus menerus agar dapat bermanfaat bagi anak bangsa.

Mudah-mudah bisa membuka mata para orang tua yang saat ini sedang mengeluh. Bahwa, yang lelah bukan hanya orang tua saja tetapi juga para guru. Karena selain mengajar pun, guru juga harus mengurus keluarganya, sama seperti kita. 

Madrasah utama anak, ya di rumah, di bawah didikan orang tuanya. Tanggung jawab kita sebagai orang tua menjaga kesehatan dan memberikan pendidikan semaksimal mungkin untuk buah hati kita. Guru di sekolah merupakan pendukung sarana pendidikan untuk anak-anak kita. Jadi, cobalah  jangan selalu menunjuk ke luar tetapi lebih banyak ke dalam dan lakukan yang terbaik untuk anak-anak dan keluarga kita.

Bersabar, berusaha, teriring doa semoga pandemi Covid ini cepat berlalu dan semua orang bisa menjalani kegiatan seperti sediakala. 

Love,
Haning Arum S.
-Yang saat ini sedang menikmati masa mendidik anak di rumah-

Share:

1 comments

  1. Saya juga kurang setuju kalo ada yang bilang "Saat pandemi, guru nggak ada kerjaan." Ada rekan saya guru yang mengeluhkan, mending offline saja. Mengajar bisa fokus, materi tersampaikan, saat murid tidak paham bisa langsung bertanya. Tidak mudah bagi guru atau pendidik mengajar via online. Pengorbanan yang dilakukan sangat besar.

    ReplyDelete